Nasehat

Majelis Nasihat: Ucapkan Perkataan Yang Lurus

8393358200_86b19f9bcb_b_flickr

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang lurus…” (QS. Al-Ahzab: 70)

Ibnu ‘Abbas menafsirkan: Maknanya, ucapkanlah perkatan yang showab/benar.

Qatadah menafsirkan: Maknanya, ucapkanlah perkataan yang adil.

al-Hasan menafsirkan: Maknanya, ucapkanlah perkataan yang jujur.

[lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1054]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa qaul sadid artinya ucapan yang mustaqim/lurus, tidak mengandung kebengkokan maupun penyimpangan.

[lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 6 hal. 487]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa termasuk dalam kategori ucapan yang lurus/al-qaul as-sadid yaitu:

  • Membaca al-Qur’an
  • Dzikir
  • Amar ma’ruf
  • Nahi mungkar
  • Mempelajari ilmu dan mengajarkannya
  • Bersemangat untuk menepati kebenaran dalam masalah-masalah keilmuan
  • Berbicara dengan lembut dan halus kepada orang lain
  • Ucapan yang mengandung nasihat dan isyarat/saran guna meraih sesuatu yang lebih bermaslahat

[lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 673]

Nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])

Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42])

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)

Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta’ala dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69] cet. Dar al-Hadits)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu’adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan dan permusuhan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa yang mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalam Kitab al-Fitan [2886])

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterlibatan dirinya dalam fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)

Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap ‘Utsman radhiyallahu’anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan ‘Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya disahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai’ dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 46)

Nasihat Para Ulama Untuk Kita

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu belajar bersama orang yang dengan melihatnya mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, tidak dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)

al-Haitsam bin Jamil rahimahullah berkata: Aku pernah mendengar Malik ditanya 48 pertanyaan, maka beliau memberikan jawaban untuk 32 diantara semua pertanyaan itu dengan ucapan, “Aku tidak tahu.” (lihat Manaqib al-A’immah al-Arba’ah, hal. 94)

Abdullah bin Mubarak menceritakan: Ada seseorang yang berkata kepada Hamdun bin Ahmad, “Mengapa ucapan salaf itu lebih bermanfaat daripada ucapan kita?”. Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan jiwa, dan demi menggapai ridha ar-Rahman. Adapun kita hanya berbicara demi kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan membuat ridha makhluk.” (lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 14)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

al-Maimuni rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal pernah berpesan kepadaku, “Wahai Abul Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan sampai engkau berbicara dalam suatu masalah yang engkau tidak memiliki imam dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, hal. 245)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 38)

al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa Allah mulai berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).

Salman al-Farisi radhiyallahu’anhu berkata, “Orang yang paling banyak dosanya pada hari kiamat nanti adalah orang yang paling banyak berbicara dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 8)

al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Berbicara dalam bentuk kritik/celaan kepada orang/periwayat dalam rangka menunaikan nasehat demi Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, dan kebaikan kaum mukminin tidak dikategorikan ghibah/menggunjing, bahkan dia mendapat pahala selama dia benar-benar tulus berniat untuk itu (memberi nasehat bukan mengobral aib, pent).” (lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, hal. 228)

Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Jika berbicara membuatmu merasa ujub maka diamlah. Dan jika diam membuatmu merasa ujub maka berbicaralah.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 275)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)

al-Laits bin Sa’ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 32)

al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 37)

Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya:

Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita

Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita

      Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa

      Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang ‘kan mencerca kita

Agama kita adalah pura-pura dan riya’ belaka

Kita kelabui orang-orang yang melihat kita

(lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 41)

Hamba memohon dengan nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang maha mulia, luruskanlah lisan dan tulisan hamba… Ya Rabbal ‘alamiin

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *