Bismillah.
Kehidupan dunia adalah sebuah cobaan dari Allah bagi umat manusia; siapakah diantara mereka yang mau bergerak untuk amal kebaikan dengan penuh keikhlasan dan siapakah yang berpaling dari jalan kebenaran hanya demi sebuah fatamorgana dan angan-angan palsu.
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Sebagaimana ditafsirkan oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah bahwa ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu beramal karena Allah, sedangkan benar ketika berada di atas sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan orang yang mengaku dirinya sebagai bagian dari kaum beriman pun tidak bisa lepas dari cobaan dan ujian. Karena ujian inilah yang akan memisahkan antara mereka yang jujur dalam keimanan dengan mereka yang dusta dalam keimanannya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami beriman’ kemudian mereka tidak diberikan ujian/cobaan? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (al-’Ankabut : 2-3)
Iman dan Amal Salih
Mereka yang jujur dengan imannya akan mewujudkan iman itu dalam bentuk amal salih dan nasihat bagi sesama. Karena kebaikan seorang hamba akan tercermin dalam manfaat dan kontribusi kebaikan yang dia curahkan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain di sekitarnya. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dengan dua hal yang pertama -iman dan amal salih, pent- maka seorang insan berusaha untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Dengan dua hal yang terakhir ini -saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran, pent- maka seorang menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat hal ini seorang insan akan selamat dari kerugian dan akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 934)
Kebaikan iman seorang hamba tidak hanya diukur dengan ibadah dan hubungannya dengan Allah, tetapi ia juga diejawantahkan dalam hubungannya dengan sesama manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
Ujian dari Allah
Ujian yang diberikan oleh Allah kepada hambanya bisa berupa kesenangan atau kesusahan. Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan/kelapangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-Baqarah: 155-157)
Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakekat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak bertentangan dengan kesabaran.” (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7])
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imran : 146). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (al-Anfal : 46)
Amal salih dan kesabaran merupakan sebab untuk mendapatkan ampunan Allah dan pahala yang besar. Allah berfirman (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan amal-amal salih, mereka itulah yang akan diberi ampunan dan pahala yang sangat besar.” (Hud : 11)
Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga Pintu Kebahagiaan
Seorang hamba berada di antara tiga keadaan :
– Musibah yang menuntut dia untuk bersabar
– Nikmat yang menuntut dia untuk bersyukur
– Dosa yang menuntut dia untuk beristighfar
Syukur, sabar, dan istighfar. Inilah tiga ciri kebahagiaan. Ibnul Qayyim rahimahulllah mengatakan, “Sesungguhnya ketiga perkara ini adalah pertanda kebahagiaan seorang hamba, itulah tanda akan keberuntungan dirinya di dunia dan di akhirat…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5 cet. Dar ‘Alam al-Fawa’id)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hlm. 87)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ibadah kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
Pentingnya Sabar dan Syukur
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari ayat-ayat yang disampaikan kepadanya. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/145])
Termasuk dalam bentuk nikmat -yang harus kita syukuri- adalah ketaatan yang telah kita lakukan. Ini semuanya adalah anugerah dan nikmat dari Allah. Bahkan, nikmat iman dan ketaatan ini adalah nikmat yang lebih agung daripada nikmat-nikmat keduniaan. Oleh sebab itu sudah semestinya kita senantiasa mensyukurinya (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hlm. 8)
Dengan demikian ketika seorang hamba telah diberi taufik oleh Allah untuk mengenal tauhid dan mengamalkannya sesungguhnya dia telah mendapatkan nikmat yang sangat besar. Sebuah nikmat agung yang wajib untuk disyukuri. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah mengaruniakan nikmat kepada hamba dengan suatu bentuk nikmat yang lebih utama daripada ketika Allah perkenalkan mereka terhadap laa ilaha illallah.” Beliau juga berkata, “Sesungguhnya laa ilaha illallah itu di akhirat bagi mereka seperti air bagi manusia ketika mereka hidup di dunia.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hlm. 248-249)
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap dirinya selain urusan makanan dan minumannya, maka sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab untuknya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hlm. 48)
Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hlm. 144)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika dia mendapatkan nikmat maka bersyukur dan jika dia mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar. Itulah zuhud.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/78])
Syaikh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian syukur itu mencakup segala bentuk amal ketaatan (lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hlm. 220)
Macam-Macam Syukur
Mensyukuri nikmat Allah -termasuk di dalamnya nikmat ketaatan- secara lisan adalah dengan menyandarkan nikmat-nikmat tersebut kepada Dzat yang telah memberikannya, memuji-Nya, dan tidak berpaling/menyandarkan nikmat itu kepada selain-Nya (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alusy Syaikh, hlm. 5)
Adapun mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan, misalnya:
- Jika nikmat itu berupa harta, hendaklah mensedekahkan sebagian darinya, sebab dengan sedekah harta justru berkembang
- Jika nikmat itu berupa ilmu, hendaklah ilmu/kebaikan itu diajarkan kepada orang lain dalam rangka mencari pahala dan supaya orang lain bisa merasakan kebaikan sebagaimana yang telah dia rasakan, sebab tidaklah sempurna iman sampai kita mencintai kebaikan bagi saudara kita sebagaimana apa yang kita cintai untuk diri kita
- Jika nikmat itu berupa kesehatan maka hendaknya digunakan sebaik-baiknya dalam ketaatan dan mencari ridha Allah supaya tidak termasuk orang yang tertipu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang membuat banyak orang tertipu, yaitu kesahatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih al-Luhaidan, hlm. 3-4)
Kebanyakan orang apabila diberikan nikmat oleh Allah, maka mereka justru kufur/menutup-nutupi hal itu, mengingkari -tidak mengakui karunia Allah atasnya- dan malah menggunakan nikmat itu tidak dalam ketaatan kepada Allah. Oleh sebab itulah -akibat tidak bersyukur- mereka terjatuh dalam kebinasaan. Adapun orang yang bersyukur maka Allah tambahkan kepadanya nikmat-Nya (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim: 7).
Macam-Macam Sabar
Sabar yang terpuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan… (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 279)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada hakekatnya iman itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karena sesungguhnya agama ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya…” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hlm. 105-106)
Sabar menempati kedudukan yang sangat agung di dalam Islam. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])
Pada dasarnya sabar itu mencakup sabar ketika tertimpa musibah dan juga sabar ketika mendapatkan nikmat. Sabar ketika mendapatkan nikmat maksudnya adalah tidak menggunakan nikmat itu kecuali dalam ketaatan. Termasuk di dalamnya adalah sabar dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya yang berkaitan dengan nikmat tersebut. Inilah sabar yang menjadi senjata untuk menangkal fitnah syahwat.
Dari sini, kita bisa memahami maksud perkataan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, “Kami diuji dengan kesulitan maka kami pun bisa bersabar, akan tetapi tatkala kami diuji dengan kesenangan maka kami tidak bisa bersabar.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hlm. 342)
Keyakinan dan Kesabaran
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan [ilmu], sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sarana untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sarana untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hlm. 669)
0 Komentar