AqidahBelajar Jarak Jauh

Ibadah, Iman, Tauhid, dan Islam

Bismillah.

Para ulama menjelaskan bahwa ibadah adalah perendahan diri kepada Allah dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ibadah mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai oleh Allah; baik yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin. Ibadah bisa dengan lisan, dengan hati, dan bisa juga dengan anggota badan.

Para ulama juga menjelaskan bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Dengan demikian iman adalah bagian dari ibadah. Karena iman adalah perkara yang dicintai Allah. Pokok keimanan adalah keimanan kepada Allah; yang di dalamnya terkandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik inilah yang disebut dengan tauhid.

Tauhid itu sendiri merupakan pengesaan Allah dalam hal ibadah. Mempersembahkan segala bentuk ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan syirik kepada-Nya. Tauhid inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Ibadah kepada Allah tidak diterima tanpa tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tauhid inilah keadilan yang paling tinggi, sedangkan syirik adalah kezaliman yang paling berat. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Tauhid kepada Allah inilah asas dalam agama Islam. Karena Islam tegak di atas kalimat syahadat laa ilaha illallah; tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Sehingga setiap nabi dan rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ketika mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Hendaklah yang paling pertama yang kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah.” dalam riwayat lain disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu tauhid merupakan prioritas utama dalam dakwah dan amal, sebagaimana ia menjadi prioritas utama dalam belajar dan mengajar.

Para ulama menjelaskan bahwa islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah islam yang diajarkan oleh setiap nabi dan rasul kepada umatnya. Semuanya menyerukan untuk menghamba kepada Allah dan meninggalkan syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Agama para nabi adalah satu yaitu Islam.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85). Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong.” (al-Ma-idah : 72) 

Oleh sebab itu keimanan yang diterima, islam yang benar adalah iman dan islam yang bersih dari syirik dan kekafiran. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal kebaikan yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Iman yang bersih dari syirik inilah yang mendatangkan keamanan dan petunjuk bagi pemiliknya. Iman yang dibangun di atas keikhlasan dan tauhid kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang akan diberi keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka mengazab orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ikhlas bukan semata-mata ucapan di lisan. Karena ikhlas adalah amalan hati dan ia menuntut pemurnian segala bentuk ibadah kepada Allah; baik itu amalan lisan maupun amal anggota badan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama/amalan dengan hanif….” (al-Bayyinah : 5). Para ulama menjelaskan bahwa hanif artinya menghadapkan diri kepada Allah dan berpaling dari segala bentuk sesembahan selain-Nya. Orang yang hanif adalah orang yang ikhlas dan bertauhid.

Oleh sebab itu Allah memuji Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai seorang teladan yang hanif. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang umat/teladan, orang yang selalu patuh kepada Allah, dan orang yang hanif. Dan dia tidaklah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (an-Nahl : 120). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan bukanlah Ibrahim itu beragama Yahudi atau Nasrani. Akan tetapi dia adalah seorang yang hanif lagi muslim. Dan bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali ‘Imran : 67)

Dan umat akhir zaman ini wajib beriman kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti tuntunannya dalam beribadah kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar kenabianku dari kalangan umat ini; apakah di beragama Yahudi atau Nasrani kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran/risalahku melainkan dia pasti termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim)

Dengan demikian seorang hamba tidak bisa mewujudkan ibadah kepada Allah, keimanan yang benar, tauhid yang lurus dan islam yang diterima kecuali dengan mengikuti petunjuk dan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya/ajarannya dari kami maka itu pasti tertolak.” (HR. Muslim). Inilah yang disebut sebagai Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yaitu ajaran beliau dalam beragama. Maka islam tidak bisa dipisahkan dari sunnah, sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dari keikhlasan, dan tauhid tidak bisa dipisahkan dari ketaatan.

Dengan kata lain, tidak bisa kita mewujudkan islam tanpa mengikuti sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak bisa kita mewujudkan keimanan yang benar tanpa mengikhlaskan ibadah kepada Allah. Dan tidak bisa kita wujudkan tauhid yang lurus kecuali dengan taat mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman atau perempuan yang beriman; apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain bagi urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu. Mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus perkara atas apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *