AkhlaqBelajar Jarak JauhPenyucian Jiwa

Hakikat Syukur

Bismillah.

Syaikh Utsman bin Jami’ rahimahullah (wafat 1240 H) berkata bahwa syukur secara istilah adalah seorang hamba memanfaatkan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan dirinya (lihat al-Fawa’id al-Muntakhabat, 1/6-7)

Ditinjau dari sarananya, syukur lebih luas daripada pujian. Syukur dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun pujian dilakukan dengan hati dan lisan saja (lihat Min-hatul ‘Allam fi Syarh Bulugh al-Maram oleh Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan, 1/12)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Alhamdulillah adalah ucapan setiap orang yang bersyukur.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an oleh al-Qurthubi, 1/206)

Ditinjau dari sebabnya, pujian lebih luas dari syukur. Syukur timbul atas perbuatan baik sedangkan pujian timbul atas sebab yang lebih banyak, yaitu kesempurnaan pada dzat, nama, sifat, dan perbuatan Allah (lihat Syarh Lum’ah al-I’tiqad oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 25)

Sebagian ulama menjelaskan, bahwa pujian kepada Allah itu muncul baik ketika dalam kondisi senang maupun susah sedangkan syukur terbatas pada saat mendapatkan kenikmatan (lihat Fat-h al-‘Aliim oleh Syaikh Husain al-‘Awaisyah hal. 54)

Syaikh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa hakikat syukur adalah menunaikan hak atas nikmat yang Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati ia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan ia menceritakan nikmat yang Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan ia gunakan nikmat itu dalam hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah. Dengan demikian syukur itu mencakup segala bentuk amal ketaatan (lihat Syarh Mutun al-‘Aqidah, hal. 220)

Apabila diperjelas lagi hakikat syukur dengan anggota badan adalah menggunakan nikmat yang Allah berikan dalam rangka ketaatan kepada-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Lakukanlah amal wahai keluarga Dawud, sebagai bentuk syukur.” (Saba’ : 13) (lihat al-Lubab fi at-Tafsir oleh Syaikh Sulaiman al-Lahim, hal. 217)

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah menyimpulkan bahwa hakikat syukur itu adalah beramal melakukan ketaatan kepada Allah (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 205)

Orang yang benar-benar beribadah kepada Allah adalah yang bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (al-Baqarah : 172). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…sesungguhnya yang beribadah kepada-Nya adalah yang bersyukur kepada-Nya. Maka barangsiapa yang tidak bersyukur kepada-Nya berarti dia bukan termasuk golongan orang yang beribadah kepada-Nya.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 222)

Abu Qilabah rahimahullah berkata, “Tidaklah membahayakan kalian dunia apabila kalian mampu menunaikan syukur atasnya.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 230)

Makhlad bin al-Husain rahimahullah berkata, “Orang-orang dahulu mengatakan bahwa syukur itu adalah dengan meninggalkan maksiat.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 242)

Karena itulah Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak menambah dekat kepada Allah adalah malapetaka.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 243)

Ungkapan senada juga dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri rahimahullah. Beliau mengatakan, “Orang-orang terdahulu mengatakan bahwa bukanlah termasuk orang yang fakih/paham agama apabila dia tidak bisa melihat musibah sebagai nikmat dan kelapangan sebagai suatu bentuk bencana.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 245)

Suatu ketika Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah melewati seorang pemuda yang sedang melirik/menggoda seorang wanita dengan kedipan matanya, maka beliau pun berkata kepadanya, “Wahai anak muda, bukan seperti ini caranya membalas nikmat yang Allah berikan kepadamu.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 246)

Dari segala pemaparan ini, dapatlah kita simpulkan bahwa hakikat syukur itu adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Dan diantara ketaatan itu semuanya yang menjadi pokok dan pondasinya adalah tauhid. Karena itu Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Dengan demikian ketika seorang hamba telah diberi taufik oleh Allah untuk mengenal tauhid dan mengamalkannya sesungguhnya dia telah mendapatkan nikmat yang sangat besar. Sebuah nikmat agung yang wajib untuk disyukuri. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah mengaruniakan nikmat kepada hamba dengan suatu bentuk nikmat yang lebih utama daripada ketika Allah perkenalkan mereka terhadap laa ilaha illallah.” Beliau juga berkata, “Sesungguhnya laa ilaha illallah itu di akhirat bagi mereka seperti air bagi manusia ketika mereka hidup di dunia.” (lihat ‘Uddatu ash-Shabirin, hal. 248-249)

Karena itulah para ulama kita menegaskan, bahwa kebutuhan manusia kepada tauhid jauh melebihi kebutuhan mereka kepada air dan udara. Karena sesungguhnya tauhid inilah ruh dan cahaya yang menyinari kehidupan mereka. Tanpa tauhid maka manusia akan tenggelam dalam kegelapan maksiat, kebutaan akan kebenaran, dan kematian hati yang membinasakan.

Demikian sedikit catatan yang bisa kami susun atas kemudahan yang Allah berikan kepada kami. Semoga yang singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya.

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *