Keutamaan Ikhlas

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama/amalan dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa tidaklah mereka Yahudi dan Nasrani diperintahkan di dalam Taurat dan Injil melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas/murni dalam keadaan di atas tauhid (lihat Ma’alim at-Tanzil karya al-Baghawi, hlm. 1426)

Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa barangsiapa yang tidak ikhlas dalam beribadah maka sesungguhnya dia tidak melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepadanya. Oleh sebab itulah amalannya tidak diterima. Dalam hadits qudsi Allah mengatakan, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim) (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, Juz 6 hlm. 426)

Syarat Diterimanya Amalan

Ayat di atas mengandung pelajaran bahwa semata-mata memperbanyak amal tidaklah terpuji jika tidak disertai dengan keikhlasan. Hal ini menunjukkan pentingnya kita memahami apa saja syarat dan ketentuan agar amal diterima. Bukankah ada banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga, sebagaimana banyak orang sholat malam/tarawih sementara dia tidak mendapatkan apa-apa selain begadang. Para ulama telah menjelaskan bahwa syarat diterimanya amal itu adalah harus ikhlas karena Allah dan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka amal itu tidak diterima (lihat Fiqh ad-Da’wah wa Tazkiyatun Nafs karya Husain al-’Awaisyah, hlm. 9)

Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa-apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya itu berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia peroleh atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya akan mendapat apa yang dia cari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam al-Qur’an Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Seorang ulama terdahulu bernama Fudhail bin Iyadh menafsirkan ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, dan benar apabila berada di atas sunnah/tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 1331)

Pentingnya Tauhid

Ayat di atas juga menunjukkan kepada kita bahwa amal yang diterima adalah yang dilandasi dengan tauhid. Tauhid artinya mengesakan Allah dalam beribadah; mempersembahkan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tauhid inilah kandungan dari kalimat syahadat laa ilaha illallah; tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Tauhid ini pula yang menjadi tujuan Allah menciptakan kita dan menurunkan kitab serta mengutus para rasul-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan; bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiya’ : 25)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap apa-apa yang telah mereka amalkan.” (al-An’am : 88)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi/teliti semua amal yang pernah mereka lakukan lantas Kami jadikan ia bagai debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Ma-idah : 72)

Makna Ibadah

Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri dan ketundukan. Adapun ibadah dalam pengertian agama Islam adalah merendahkan diri dan tunduk kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan. Ibadah itu mencakup segala hal yang dicintai oleh Allah baik amalan lahir maupun batin.

Maka sholat adalah ibadah, puasa, zakat, haji, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, dzikir, membaca al-Qur’an, taubat, istighfar, doa, takut, harapan, tawakal, istighotsah, dsb merupakan ibadah. Dan segala bentuk ibadah wajib dipersembahkan hanya kepada Allah. Tidaklah boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah disertakan bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaklah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu menujukan ibadah kepada selain Allah adalah syirik dan pelakunya keluar dari agama Islam. Maka tidak boleh menujukan ibadah kepada nabi atau malaikat, wali atau kiyai, pohon, batu, atau kuburan. Ibadah adalah hak Allah semata. Menujukan ibadah kepada selain Allah adalah syirik dan kezaliman yang sangat besar. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Ibadah kepada Allah semata merupakan kewajiban atas seluruh manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Ibadah kepada Allah tidak diterima apabila tercampuri dengan syirik. Sebagaimana halnya sholat tidak diterima apabila pelakunya dalam keadaan berhadats alias tidak bersuci.

Demikian sedikit catatan mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semuanya, aamiin.


Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *