Bahasa ArabBelajar Jarak Jauh

Belajar Bahasa Arab [10]

Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan

Bismillah.

Alhamdulillah, pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam program belajar kaidah bahasa arab. Pada bagian terdahulu telah kita bahas mengenai kelompok isim-isim yang harus dibaca marfu’. Diantaranya adalah apabila ia berkedudukan sebagai fa’il/pelaku.

Fa’il terletak setelah fi’il ma’lum/kata kerja aktif. Adapun setelah fi’il maj-hul/kata kerja pasif yang ada adalah naa-ibul fa’il/pengganti pelaku. Naa-ibul fa’il juga harus dibaca marfu’.

Selain itu kita juga sudah belajar tentang mubtada’ dan khobar. Mubtada’ adalah isim marfu’ yang terletak di awal kalimat. Mubtada’ yang diterangkan, sedangkan khobar adalah yang menerangkan. Baik mubtada’ maupun khobar kedua-duanya harus dibaca marfu’.

Nah, kalimat yang terdiri dari mubtada’ dan khobar ini disebut dengan istilah jumlah ismiyah; yaitu kalimat/jumlah yang diawali dengan isim. Adapun jumlah/kalimat yang diawali dengan fi’il –baik fi’il ma’lum maupun maj-hul- maka ia disebut dengan istilah jumlah fi’liyah.

Kita juga sudah menyinggung seputar na’at atau shifat. Na’at atau sifat dibaca mengikuti kata yang disifati. Misalnya ‘kitaabun jadiidun’ كتاب جديد artinya ‘buku yang baru’. Kata ‘jadiidun’ adalah sebagai na’at atau shifat bagi kata ‘kitaabun’. Kita juga sudah mengenal istilah ma’rifat dan nakiiroh. Ma’rifat maksudnya isim tersebut sudah tertentu orang atau bendanya, sedangkan nakiroh adalah bersifat masih umum atau belum tertentu siapa orangnya atau benganya yang mana.

Diantara ciri isim ma’rifat adalah diawali dengan alif lam, misalnya ‘al-kitaab’ artinya ‘buku itu’, adapun isim nakiroh tidak diberi alif lam (masih tanwin) misalnya ‘kitaabun’ artinya ‘buku’. Isim ma’rifat bisa juga berupa nama orang misalnya ‘Ahmad’.

Kita lanjutkan pada pembahasan baru yaitu tentang isim yang harus dibaca manshub. Diantara isim yang harus dibaca manshub adalah maf’ul bih atau objek. Isim yang berkedudukan sebagai maf’ul bih atau objek dalam bahasa arab harus dibaca manshub. Masih ingat tanda manshub bukan? Ya, manshub ditandai dengan fat-hah atau tanda lain yang menggantikannya.

Misalnya kalimat ‘fataha ahmadu baaban’ فتح أحمد باباً artinya ‘telah membuka Ahmad pintu’ atau ‘Ahmad membuka pintu’. Di dalam kalimat ini kata ‘baaban’ باباً dibaca manshub atau diakhiri fat-hah karena ia menempati posisi sebagai maf’ul bih atau objek. Objek harus dibaca manshub.

Contoh lain, ‘qara’a ‘ahmadu kitaaban’ قرأ أحمد كتاباً artinya ‘Ahmad membaca kitab’ di sini kata kitaab juga dibaca manshub mengapa? Karena ia menjadi objek/maf’ul bih. Oleh sebab itu ia dibaca manshub ‘kitaaban’, bukan ‘kitaabun’ atau ‘kitaabin’. Demikian yang kita bahas dalam kesempatan ini semoga bermanfaat bagi kita. Wallahul muwafiq.

Unduh materi di sini : belajar-10

Redaksi

Redaksi al-mubarok.com dikelola oleh relawan dan pegiat dakwah Masjid Jami' al-Mubarok (MJM) YAPADI Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *